Mengenal Obstructive Sleep Apnea, the Silent Killer

Mengenal Obstructive Sleep Apnea, the Silent Killer

Penulis: dr. Rudini

 

Apakah anda sering terbangun dari tidur dan merasa masih mengantuk dan kurang konsentrasi sepanjang hari walaupun jam tidur Anda sudah cukup lama? Bila iya, bisa jadi Anda mengalami Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan kesulitan bernafas saat tidur. Kondisi ini terjadi berulang saat masa tidur, sehingga berakibat menurunkan kualitas tidur seseorang. OSA juga dapat menimbulkan beberapa gejala seperti rasa tercekik saat tidur, nafas terengah-engah saat tidur, penurunan konsentrasi dan banyak gejala merugikan lainnya.

OSA terjadi ketika aliran udara berhenti selama 10 detik, menyebabkan penurunan aliran udara dan kadar oksigen dalam darah. Pada kasus yang parah, OSA terjadi selama 10-60 detik dan berulang tiap 30 detik.Selama ini, OSA kurang dianggap sebagai masalah kesehatan yang penting, dan banyak kasus OSA tidak terdiagnosa dengan baik. Menurut data World Health Organization(WHO), selama beberapa dekade ini, prevalensi kejadian OSA sebanyak 1-6% dari masyarakat dewasa mengalami gangguan nafas pada saat tidur, dengan perbandingan angka kejadian 2:1 antara pria dan wanita.

Pada pasien OSA, jalan napas tersumbat sehingga aliran udara ke paru-paru terganggu. Kondisi ini membuat pengidap OSA mendengkur, napas sering berhenti dan terengah-engah saat tidur, sulit tidur pada malam hari (insomnia), serta bangun dengan kondisi mulut terasa kering atau tenggorokan serak, dan mudah merasa lelah. Gangguan ini akan membuat pengidapnya terbangun mendadak atau kesulitan untuk tidur nyenyak.Sebagian pengidap OSA takut tidur kembali karena merasakan sensasi tercekik pada fase apnea. Pada pria, OSA bahkan bisa menurunkan gairah seksual (disfungsi seksual).

Faktor pemicu obstructive sleep apnea (OSA) yang perlu diketahui, antara lain:

Faktor yang tidak dapat diubah, seperti usia, jenis kelamin, serta bentuk dan ukuran jalan napas abnormal (seperti rahang kecil, lidah besar, jalan napas sempit, amandel). Seiring bertambahnya usia, seseorang lebih berisiko mengidap OSA. Selain itu, orang berjenis kelamin laki-laki berisiko dua kali lebih besar terkena OSA dibandingkan wanita.

Faktor yang dapat diubah. Seperti gaya hidup (seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, konsumsi obat). Seseorang dengan kelebihan berat badan (overweight atau obesitas) berisiko lebih besar mengidap OSA dibandingkan yang berbadan ideal.

Obstructive sleep apnea terjadi saat otot di belakang tenggorokan terlalu rileks, sehingga jalan napas akan menyempit atau menutup. Otot-otot tersebut berpengaruh pada organ di mulut, seperti amandel dan lidah. Saat terjadi pemblokiran udara sebagian atau sepenuhnya, otomatis kadar oksigen dalam darah akan menurun dikarenakan napas berhenti selama kira-kira 10-20 detik. Kurangnya oksigen menyebabkan otak menjadi panik dan membangunkan tubuh untuk bernapas kembali.

Obstructive Sleep Apneadapat menyebabkan masalah lanjutan berupa penurunan fungsional tubuh dan kognitif, masalah kardiovaskular, serta adanya komplikasi dari obat-obatan dan pembedahan. Keadaan OSA dapat menyebabkan peningkatan pada aktivitas saraf simpatis yang dapat menyebabkan hipertensi. Perjalanan penyakit OSA menjadi hipertensi diawali dengan keadaan hipoksemi ataupun hiperkapnea, yang mengakibatkan inflamasi sistemik, stress oksidatif, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis, yang bila secara kronis terjadi dapat membuat konstriksi pembuluh darah perifer, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi.

Obstructive sleep apnea (OSA) didiagnosis melalui pemeriksaan fisik dan darah. Jika penyebab belum diketahui secara jelas, dokter akan mengobservasi pola tidur melalui tes polisomnografi (PSG). Selama dilakukan pemeriksaan ketika tidur ini, pasien akan terhubung ke peralatan yang memonitor aktivitas jantung, paru-paru dan otak, pola pernapasan, gerakan lengan dan kaki, serta kadar oksigen darah saat pasien tidur. Hal ini mungkin akan dilakukan semalam penuh, sehingga tubuh pasien akan dimonitor sepanjang malam.Tes ini membantu dokter mengamati pola pernapasan, detak jantung, kadar oksigen tubuh, dan tingkat kekerasan dengkuran yang bisa menjadi tanda terjadinya OSA.

OSA diobati dengan tiga pilihan pengobatan, disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit. Semakin tinggi tingkat keparahan, semakin dibutuhkan kombinasi pengobatan untuk memastikan aliran udara masuk ke paru-paru saat tidur. Beberapa pilihan pengobatan untuk mengatasi OSA, yaitu:

Perubahan gaya hidup. Misalnya, menjaga berat badan tetap ideal, rutin berolahraga, konsumsi makanan sehat, berhenti merokok, istirahat saat merasa lelah, serta menghindari konsumsi alkohol dan kafein. Olahraga kardio juga disarankan agar dapat menurunkan berat badan yang berlebih.Tidur dengan posisi miring dan menghindari konsumsi obat penenang, dan nikotinpada malam hari.

Memperbaiki kekuatan otot pernapasan bagian atas dan mekanisme pernapasan sentral. Pakai alat buatan saat tidur. Tujuannya untuk menjaga posisi rahang dan mempertahankan posisi lidah agar tidak jatuh ke belakang. Misalnya, alat bernama cervical collars (bantal leher) dan continuous positive airway pressure (masker udara).

Pembedahan, dilakukan pada kasus OSA yang parah.Ada beberapa prosedur operasi yang dapat dilakukan pada pasien OSA untuk mengurangi gejala, seperti operasi pada saluran nafas atas yang terdiri dari berbagai prosedur operasi seperti uvulopalatopharyngoplasty untuk meningkatkan saturasi oksigen namun kurang efektif pada pasien usia lanjut dengan BMI tinggi, Laser-assisted uvuloplasty yang merupakan uvulopalatopharyngoplasty dengan teknik laser, dan juga radiofrequency ablation pada daerah palatum.

 

Reference:

Bauters F, Rietzchel ER, Hertegonne KBC, C. J. (2016). The Link Between Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular Disease. Ghent University Hospital Belgium. Curr Atheroschler Rep.

Salman LA, Shulman R, Cohen JB. Obstructive sleep apnea, hypertension, and cardiovascular risk: epidemiology, pathophysiology, and management. Curr Cardiol Rep. 2020;22:6. doi: 10.1007/s11886-020-1257-y.