Waspada Gangguan Jantung Saat Isolasi Mandiri COVID-19: Hindari Berolahraga Saat Fase Akut

Waspada Gangguan Jantung Saat Isolasi Mandiri COVID-19:  Hindari Berolahraga Saat Fase Akut

Penulis dr. M. Adhitya Nagara

 

Pandemi COVID-19 masih berlangsung di Indonesia, beberapa kali terjadi gelombang ledakan kasus wabah ini dalam kurun waktu 15 bulan terakhir, sejak kasus pertama diumumkan bulan Maret 2020 lalu dan telah banyak memakan korban nyawa manusia. Menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga tulisan ini dibuat (15/08/2021), setidaknya ada 117.588 orang meninggal berkaitan dengan COVID-19. Bahkan menurut Our World in Data, jumlah pertambahan kematian di Indonesia yang berkaitan dengan COVID-19 per hari menempati posisi tertinggi di dunia beberapa kali dalam 1 bulan terakhir.

Penambahan kasus COVID-19 yang tinggi tersebut juga menimbulkan masalah tersendiri khususnya untuk sistem kardiovaskular, terutama apabila kondisi pasien jatuh ke dalam sakit yang berat hingga kritis mengancam nyawa. Pasalnya, virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 secara spesifik, baik langsung (infeksi langsung ke otot) maupun tidak langsung (melalui berbagai mediator peradangan), juga dapat menimbulkan peradangan otot jantung (miokarditis) yang memicu terganggunya fungsi pompa jantung, gangguan sistem listrik jantung (aritmia), yang dapat berujung terhadap kematian. Belum lagi risiko penyumbatan pembuluh darah baik di jantung, otak, maupun perifer dapat memberat keadaan klinis. Semakin berat level keparahannya maka risiko gangguan kardiovaskular juga akan semakin tinggi.

Walaupun begitu, ada studi kohort prospektif dengan total subjek 100 orang dari JAMA Cardiology telah melaporkan bahwa terjadi gangguan jantung pada 78% pasien yang telah sembuh dari COVID-19 dan 60% pasien masih mengalami peradangan otot jantung dengan rata-rata berusia 49 tahun dan tanpa terdeteksi penyakit penyerta sebelumnya. Data lain dari jurnal yang sama dipublikasi oleh Daniels et al menunjukkan terjadi miokarditis subklinis pada pasien COVID-19 di populasi atlet dengan derajat keparah yang ringan saat menjalani isolasi mandiri hingga tiga bulan setelah pelepasan isolasi. Walau angka kejadian relatif kecil yaitu 28 dari total 1597 subjek namun tidak bisa dianggap sepele karena peradangan jantung ini tidak bergejala dan dapat terdeteksi karena seluruh subjek dilakukan cardiac magnetic resonance.

Temuan ini menjadi sangat krusial, terutama pada pasien COVID-19 dengan derajat tanpa gejala hingga ringan yang menempati proporsi terbesar 80% dari seluruh total pasien COVID-19, karena akan ada risiko kemungkinan terjadinya peradangan jantung serta komplikasi lainnya saat pasien menjalani isolasi mandiri di rumah. Ada beberapa alasan yang mendasari kekhawatiran ini, pertama tidak semua pasien yang menjalani isolasi mandiri mendapatkan akses konsultasi dokter beserta pemeriksaan yang komprehensif dan memadai, kedua ketidaktahuan pasien terhadap kondisi kondisi klinis dirinya terkait kemungkinan risiko tersebut, ketiga, banyaknya informasi yang beredar di berbagai media yang menyarankan untuk berolahraga selama isolasi mandiri dengan bertujuan mempercepat penyembuhan padahal berolahraga dengan intensitas ringan pun dapat menyebabkan perburukan jantung yang berujung kematian jika mengalami peradangan pada fase akut ini, keempat, walaupun fase akut sudah terlewati, masih ada kemungkinan terjadi gangguan jantung bahkan prevalensinya terus meningkat seiring meningkatnya akumulasi angka kasus COVID-19, fenomena tersebut saat ini dikenal dengan istilah Long COVID.

Pada pasien COVID-19 dengan derajat sedang hingga kritis, risiko kejadian aktivitas fisik yang terlalu berlebihan ini tidak terlalu tinggi karena pasien biasanya merasakan keterbatasan aktivitas dan sebagian besar akan menjalani perawatan di rumah sakit. Itupun juga harus dalam pengawasan dokter ketika ingin berolahraga setelah sembuh.

Dengan dasar risiko tersebut, beberapa organisasi telah mengeluarkan pedoman bagi populasi atlet dan non-atlet untuk menjalani rehabilisasi yang aman dalam rangka membantu pasien mengembalikan fungsi tubuh seperti semula serta mencegah disabilitas jangka panjang dengan meminimalisasi risiko.

Berikut anjuran British Journal of Sport Medicine terkait olahraga saat terinfeksi COVID-19 untuk non-atlet yang mengalami COVID-19 derajat tidak bergejala hingga ringan:

Rehabilitasi kembali berolahraga dilakukan secara bertahap, tahap awal berfokus terhadap pemulihan aktivitas fisik sehari-hari, lalu pekerjaan fungsional kemudian olahraga.

Ada 4 tahapan rehabilitasi,

Tahap pertama, yaitu kondisi akut minimal 14 hari pertama saat pasien bergejala terkonfirmasi COVID-19 (10 hari pertama bagi pasien tanpa gejala) dan menjalani isolasi mandiri. Pasien diminta untuk menghentikan semua aktivitas olahraga baik yang bersifat aerobik atau ketahanan (resistance) namun dapat bergerak beraktivitas sesuai toleransi sekaligus mencegah statis darah. Latihan otot pernafasan terkontrol dapat dapat dilakukan dengan supervisi tenaga kesehatan jarak jauh (telemedicine) untuk mengurangi keluhan sesak yang dialami. Peregangan sederhana < 30 detik dapat dilakukan untuk menjaga fleksibilitas anggota gerak dan sendi bahu. Tetap memonitor saturasi oksigen dengan pulse oximeter dan tanda-tanda vital seperti laju pernafasan, suhu, tekanan darah sebaiknya tetap dilakukan.

Tahap kedua, kembali bekerja setelah minimal 2 minggu sejak terinfeksi dan isolasi. Pada minggu I (hari ke-15 s.d. 21 sejak terinfeksi) dapat melakukan jalan kaki 10 menit, olahraga ketahanan ringan dimulai dengan melawan gravitasi lalu berlanjut bodyweight exercise. Minggu II dapat meningkatkan intensitas olahraga aerob menjadi tingkat menengah (skala 6/10 rate of perceived exertion) dan resistance 40% one repetition maximum (1REP)  dengan memastikan nutrisi protein yang cukup 1,5 gram per hari.

Tahap ketiga, memasuki minggu III pasien dapat melakukan olahraga aerob berjalan kaki 30 menit perhari 5 kali per minggu atau resistance 70% 1RM (8-12 rep, 2-3 set) untuk meningkatkan kekuatan otot. Tetap memonitor laju denyut jantung dan saturasi oksigen serta mengukur kemampuan fisik personal.

Tahap keempat, promosi kesehatan dan penilaian risiko kesehatan secara spesifik per pasien. Rehabilitasi perubahan gaya hidup sehat jangka panjang seperti olahraga dan evaluasi faktor risiko metabolik seperti obesitas, kelelahan kronik, kerapuhan (frail) untuk lansia, kekurangan massa/kekuatan otot (sarcopenia), gangguan nutrisi dan lainnya. Oleh karena itu, pasien dapat berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan kembali tatalaksana optimal dari segi resep olahraga serta nutrisi yang sesuai kondisi individu masing-masing.

Menurut Australasian College of Sport and Exercise Physicians, saat proses rehabilitasi tersebut, terdapat tanda kegawatan yang harus diwaspadai seperti:

  • nyeri dada dan/atau berdebar-debar
  • sesak nafas yang memberat
  • tanda-tanda yang mengarah ke embolus pulmo (sesak saat istirahat atau kaki bengkak)

Oleh karena itu, jika pasien merasakan gejala-gejala tersebut segera mengunjungi fasilitas kesehatan tedekat.

Sumber:

Kementerian Kesehatan RI 2021 https://www.kemkes.go.id/

R Verity, LC Okell, I Dorigatti, P Winskill, C Whittaker, et al. Estimates of the severity of coronavirus disease 2019: a model-based analysis. Lancet Infect Dis 2020;20: 669–77

Tumi AM, Ahmed I et al. Return to exercise” – helping patients to overcome the long tail of covid-19, British Journal of Sport Medicine. 2021

VO Puntmann, ML Carerj, I Wieters, et al. Outcomes of Cardiovascular Magnetic Resonance Imaging in Patients Recently Recovered From Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). JAMA Cardi 2020;5(11):1265-1273.

JE Udelson, EJ Rowin, BJ Maron. Return to Play for Athletes After COVID-19 Infection: The Fog Begins to Clear. JAMA Cardiol. Published online May 27, 2021. doi:10.1001/jamacardio.2021.2079

H Crook, S Raza, J Nowell, M Young, P Edison. Long covid—mechanisms, risk factors, and management. BMJ 2021;374:n1648.

Jewson J, McNamara A, Fitzpatrick J. Life after COVID-19: The importance of a safe return to physical activity. Aust J Gen Pract 2020; 49.