Vitamin D dan Efeknya

Vitamin D dan Efeknya

Penulis: dr.Sahniriansa Sahionge

  

Prevalensi defisiensi vitamin D hampir pada seluruh populasi baik di negara maju dan negara berkembang, diperkiran satu miliar orang di dunia mengalami defisiensi vitamin D.1 Defisiensi vitamin D, pertama kali ditemukan tahun 1910 pada penyakit riketsia, dimana berhubungan dengan negara 4 musim, sehingga memiliki waktu musim panas yang pendek dan paparan sinar matahari yang kurang. Riketsia adalah kondisi penyakit dengan karakteristik stuktur tulang menjadi lebih lunak sehingga mudah mengalami deformitas, pasien juga mengalami kejang dan kaku otot.2 Kejadian Riketsia yang terjadi di eropa terutama skotlandia membuat Sir Edward Mellanby prihatin dan meneliti kejadian ini dengan mengambil makanan yang dikonsumsi masyarakat skotlandia dan memberikan pada hewan percobaan dan secara kebetulan sinar matahari pada ruangan tersebut juga kurang sehingga timbul gejala identik dengan riketsia, lalu dia memberikan minyak ikan kod dan kondisi berangsur membaik maka muncul asumsi vitamin A sebagai terapi dan dapat mencegah riketsia. Penelitian kemudian dilanjutkan Mc.Collum yang kemudian menyimpulkan  vitamin D sebagai unsur yang dapat dipakai untuk pencegahan dan penyembuhan riketsia. Seorang dokter dari Wina, Huldshinsky menemukan anak dengan riketsia dapat sembuh dengan memaparkan sinar matahari, pada tahun 1961 Prof.Harry Steenbock meneliti pada kambing dimana jika dipaparkan sinar matahari kadar kalsium serum menjadi seimbang dan jika tidak dipaparkan matahari terjadi hal sebaliknya, lalu dia melakukan penelitian pada tikus dengan memaparkan sinar matahari bukan hanya pada tikus namun pada juga pada makananya dan mendapatkan hasil dapat mencegah dan menyembuhkan riketsia dimana terjadi hubungan fraksi lipid dengan lipid tidak aktif pada makanan dan kulit yang jika dipaparkan sinar matahari menjadi aktif dan berfungsi sebagai anti riketsia. Pada tahun 1932, Askew menemukan senyawa vitamin D2 campuran ergosterol, tahun 1937 Windaus mengidentifikasi precursor vitamin D3 (7-dehydrocholesterol) diproduksi pada  lapisan kulit dan tidak ditemukan pada makanan namun baru dapat dibuktikan pada tahun 1978 oleh Esvelt dengan sprektrometri massa.3

Vitamin D3 dimetabolisme pada hati dan ginjal, dimana pada hati enzim yang bertanggung jawab adalah CYP2R1 dan perubahan pada ginjal terjadi pada tubulus kontortus proksimal diubah menjadi CYP27B1 yang di stimulus oleh hormone paratiroid lalu menjadi molekul aktif lalu diserap oleh saluran cerna dan metabolit aktif tersebut membantu penyerapan kalsium dan fosfor lebih optimal. Manfaat vitamin D yang pertama pada kesehatan tulang dimana pada kondisi defisiensi atau kekurangan vitamin D dalam tubuh, menyebabkan terganggunya keseimbangan kalsium dan berdampak osteoporosis, osteomalasia dan riketsia. Manfaat lain yaitu pada sistem imun dimana vitamin D3 dapat meningkatkan kemampuan fagosit makrofag, menstimulasi kerja limfosit T, meningkatkan produksi peptide cathelicidin yang berfungsi sebagai antimikroba, hal ini membuktikan  penelitian Finsen yang memberikan fototerapi pada penderita cacar, manfaat selanjutnya pada metabolisme glukosa dan lemak, dimana berhubungan dengan sifat vitamin D yang larut pada lemak. Dalam bidang kardiovaskular banyak penelitian mengemukakan hubungan kejadian mayor kardiovaskular dengan kadar serum vitamin  D yang rendah. Pada pasien dengan risiko keganasan seperti kanker payudara, kanker colon, kanker ovarium dan kanker ginjal pada beberapa penelitian dengan suplementasi vitamin D yang baik dapat menurunkan risiko kejadian.4

Semenjak pandemik covid, konsumsi vitamin D meningkat dan diberikan dengan dosis yang relatif besar. Lalu apakah itu hal yang tepat?. Menurut perkumpulan ahli nutrisi pemberian vitamin D berbeda pada setiap individu dan membutuhkan pemeriksaan awal kadar serum vitamin D. Kadar optimal vitamin D pada serum yaitu 30ng/mL, suplementasi hanya diberikan pada kondisi defisiensi dan insufisiensi. Mengapa demikian? Konsumsi berlebihan dapat mengakibatkan efek toksisitas vitamin D. Apa saja tandanya?, yaitu penyerapan kalsium yang berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperkalsemia yang dapat menyebabkan gejala mual, muntah, nafsu makan yang menurun, diare, kolik perut. Efek lain yaitu kadar vitamin K2 menjadi rendah sehingga memungkinkan terjadinya demineralisasi atau pengeroposan tulang. Gagal ginjal dapat terjadi pada kelebihan vitamin D, ini menjadi dasar dalam memberikan suplementasi vitamin D harus sudah dipastikan fungsi ginjal baik. 4–6

Perdebatan mengenai waktu berjemur untuk mengaktikan vitamin D juga banyak didebatkan dikala pandemik. Faktor lain yang memengaruhi penyerapan vitamin D adalah warna kulit dan kondisi iklim. Pada negara empat musim, defisiensi timbul karena pendeknya musim panas sehingga kurangnya paparan sinar matahari. Pada negara-negara di Asia mengapa masih kurang ternyata berhubungan dengan diet makanan sumber vitamin D yang inadekuat dan perilaku berpakaian dimana jika bagian tubuh tertutup pakaian maka penyerapan UV untuk mengubah vitamin D kebentuk aktif akan berkurang. Orang dengan kulit lebih gelap membutuhkan durasi waktu penyinaran yang lebih lama. Jadi berapa lama waktu yang tepat untuk berjemur?, orang dengan kulit terang disarankan 5-10menit, sedangkan berkulit gelap maksimal 15 menit. Lalu jam berapa waktu yang tepat untuk berjemur?, disarankan pukul 08.00-10.00 pagi dan pukul 15.00-16.00 sore.7

 

Referensi

Hovsepian S, Amini M, Aminorroaya A, Amini P, Iraj B. Prevalence of Vitamin D Deficiency among Adult Population of Isfahan City, Iran. J Health Popul Nutr. 2011;29:149–55

A dose of vitamin D history. Nat Struct Mol Biol. 2002;9:77–77

DeLuca HF. History of the discovery of vitamin D and its active metabolites. Bonekey Rep. 2014;3:479

MChD ER. Vitamin D and health – a historical overview

Side Effects of Too Much Vitamin D [Internet]. Healthline. 2019 [cited 2021 Aug 11]. Available from: https://www.healthline.com/nutrition/vitamin-d-side-effects

Lim K, Thadhani R. Vitamin D Toxicity. Braz J Nephrol. 2020;42:238–44

Lowe NM, Bhojani I. Special considerations for vitamin D in the south Asian population in the UK. Ther Adv Musculoskelet Dis. 2017;9:137–44