Sindroma Koroner Akut Non ST Elevasi
Penulis: dr. Try Wijayanthie
Sindroma koroner akut didefenisikan sebagai sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat proses trombosis mendadak di dalam arteri koroner. Gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita SKA yaitu rasa tidak nyaman di dada yang berlangsung selama lebih 20 menit saat istirahat atau saat aktifitas disertai keringat dingin atau bahkan kematian mendadak. Terdapat tiga spektrum besar SKA, yaitu SKA dengan elevasi ST (SKA-STE), SKA non ST-elevasi (SKA-NSTE), dan angina pectoris tidak stabil (APTS)1,2. Data Indonesia diperoleh dari laporan registri SKA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita menunjukkan bahwa dari seluruh penderita SKA yang datang ke instalasi gawat darurat diketahui 69% diantaranya adalah pasien dengan diagnosis SKA-NSTE3.
Prognosis jangka pendek atau angka kematian non SKA-NSTE selama perawatan di RS dilaporkan tidak setinggi kematian penderita SKA-STE, namun kemudiaan angka kematian SKA-NSTE pascaperawatan RS dalam 6 bulan dilaporkan lebih tinggi SKA-STE.4
Keluhan SKA-NSTE sama dengan keluhan SKA pada umumnya yaitu keluhan angina pectoris tidak stabil yang bersifat tipikal atau atipikal (angna ekuivalen).Angina pectoris tipikal meliputi keluhan rasa seperti berat, ditusuk, rasa terbakar, panas atau terktekan di daerah retrosternal menjalar hingga ke lengan kiri, leher, rahang, interskapula atau daerah epigastrium.
Tidak seperti nyeri pada SKA-STE yan mendadak dan sangat kuat, keluhan pada SKA-NSTE dapat berlangsung intermiten yang semakin berat beberapa menit (angina progresif) atau nyeri persisten >20 menit dan dapat disertai gejala keringat dingin yang membasahi baju, mual,muntah dan pingsan. Nyeri dada tidak stabil terkadang bersifat atipikal atau sering disebut Angina Ekuivalen yaitu rasa tidak nyaman di dada yan sulit dijelaskan, atau sesak napas atau keluhan lemah yang mendadak yang dapat disertai gejala diaphoresis (keringat dingin).
Keluhan angina ekuivalen sering dijumpai pada penderita perempuan usia muda, usia tua lebih dari 75 tahun, diabetes mellitus, obesitas, dan gangguan ginjal menahun. Keluhan tersebut sebagai angina pectoris. Anamnesis pasien dengan SKA bersifat focus anamnesis (targeted history), taktis dan tidak terlalu lama mengingat pasien dalam kondisi iskemia miokard.5
Pemeriksaan fisik pada pasien SKA-NSTE kurang lebih hamper sama dengan pemeriksaan SKA pada umumnya yaotu lebih utama untuk menemukan factor pencetus SKA, Komplikasi SKA (gagal jantung, aritmia, rupture korda atau rupture dinding jantung), penyakit penyetra (komorbiditas) seperti asma, pendarahan, stroke atau infeksi paru. Pada gagal jantung akut pada pemeriksaan auskultasi ditemukan ronki di basal paru atau gallop, dan tekanan darah akan turun pada kondisi gagal jantung yang berat atau syok.
Murmur pansistolik di region parasternal bawah menunjukkan ruptur septum ventrikel sedangkan murmur pansitolik di region apeks harus dicurigai sebagai komplikas rupture korda. Suhu tubuh yang meningkat disertai takikardia menunjukkan kemungkinan dicetuskan oleh infeksi. Paricardial frictionrubs terdengar melalui pemeriksaan auskultasi yang menunjukkan pericarditis terutama pada kasus sindrom Dressler.2,3
Elektrokardiografi (EKG)
Penderita yang dicurigai SKA harus dilakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin setibanya di IGD. Sebgai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Rekaman EKG dibuat dalam 10 menit setelah pasien tiba di IGD. Pemeriksaan EKG harus diulang dalam 1-2 jam untuk melihat evolusi perubahan rekaman EKG.
Tidak ditemukannya elevasi segmen ST atau evolusi elevasi ST pada rekaman EKG menunjukkan bahwa ini mengarahkan diagnosis SKA-STE dapat disingkirkan, kondisi EKG seperti > 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan > 0,1 mV di sadapan lainnya memberikan interprestasi diagnostic SKA-NSTE. Inversi gelombang T yang simetri > 0,2 mV mempunyai spesifisitas tinggi untuk iskemia akut. Perubahan segmen ST (elevasi atau depresi) atau inversi gelombang T mempunyai kemaknaan diganostik jika terdeteksi di > 2 sadapan yang berdekatan atau kriteria EKG diagnostic dikategorikan sebgai perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang non diagnostic. Terdapat tiga gambaran depresi ST yaitu ST depresi downsloping, horizontal dan upsloping. ST yang spesifik untuk iskemia.2
Beberapa kasus APTS dapat memberikan gamaran tanpa kelainan segmen ST atau inversi gelombang T, hal ini memerlukan validasi secara anamnesis dan pemeriksaan EKG secara serial. Pemeriksaan EKG tunggal pada skrining APTS di IGD tidak direkomendasikan. Prinsip dari tata laksana SKA-NSTE atau APTS adalah validasi diganostik baik secara anamnesis, EKG, maupun biomarker.
Laboratorium
Kreatinin Kinase-MB (CK-MB) atau troponin I atau troponin T merupakan penanda nekrosis ses kardiomiosit (sel otot jantung) jantung dan menjadi marka untuk diagnosi infark miokard akut (IMA). Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyeban nekrosis kardiomiosit tersebut (koroner atau nonkoroner).
Tata Laksana
Tata laksana umum saat pasien tiba di IGD :
Tirah baring, posisi 30o.
Oksigen nasal 2-4l/mnt. Jika saturasi oksigen < 90% maka perlu oksigen sungkuo non-rebreathing 8-12 l/mnt.
Nitrat sublingual, dapat diulang tiap 5 menit. Jika pemberian nitrat tidak mengurangi gejala angina maka diberikan preparat nitrat intravena.
Aspilet 80-160 mg tablet kunyah.
Jika skala nyeri saat datang masih diatas 5/10 maka segera berikan preparat morfin 2-4 mg IV dan dapat diulang tiap 10menit hingga dosis maksimal 12 mg. Pethidine juga dapat diberikan dengan dosis awal 25 mg intravena dan dapat diulang tiap 10 menit. Skala nyeri lebih dari 5/10 dan berlangsung terus menerus maka perlu segera disiapkan untuk tindakan inervensi.
Daftar Pustaka
Bertrand ME, Simoons ML, Fox KA, et al. Management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart J.2002;23(23):1809-40.
Irmalita JD, Firdaus I, et al. Buku Pedoman Tata laksana Sindroma KoronerAkut, Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2014.
Lily LS, Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of medical students and faculty. Lippincott William & Wilkins; 2011.
Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerinata S, Wardeh AJ, Jukema JW. Acute myocardial infraction system of care in the third world. Neth Heart J. 2012;20(6):254-9
Braundwald E, Jones RH, Mark DB, et al. Diagnosing ada managing unstable angina. Agency for health care policy and research. Circulation. 1994;90(1):613-22