Pasien Hipertensi Minum Obat Hanya Bila Tekanan Darah Naik? Oh, No!

Pasien Hipertensi Minum Obat Hanya Bila Tekanan Darah Naik?  Oh, No!

Penulis : dr. Fatchul Ulum

 

Pernyataan diatas seringkali dijumpai dalam praktek sehari – hari. Bahwa penderita hipertensi melakukan “on-off ” minum obat hipertensi rutin yang telah diberikan oleh dokter karena pasien sudah merasa tidak ada keluhan atau tekanan darah sudah normal. Padahal hipertensi ini dapat menjadi “the silent killer” bila tidak dikelola dengan benar karena dapat menyebabkan komplikasi pada banyak organ dalam tubuh.

Lebih dari 1 milyar penduduk di dunia mengalami hipertensi ( tekanan darah tinggi) yang dapat membahayakan penderitanya. Jumlah penderita ini semakin lama semakin meningkat. Data dari studi Framingham menunjukkan 90 % orang dengan usia di atas 55 tahun akan mengalami hipertensi selama hidupnya.1

Hipertensi merupakan masalah kesehatan global berakibat peningkatan angka kesakitan dan kematian serta beban biaya kesehatan termasuk di Indonesia. Hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, retina, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah perifer. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1% dibandingkan 27,8% pada Riskesdas tahun 2013. Dalam upaya menurunkan prevalensi dan insiden penyakit kardiovaskular akibat hipertensi dibutuhkan tekad kuat dan komitmen bersama secara berkesinambungan dari semua pihak terkait seperti tenaga kesehatan, pemangku kebijakan dan juga peran serta masyarakat.2

Dua-pertiga  penderita hipertensi tidak menyadari peningkatan tekanan darah yang mereka alami atau tidak diobati secara adekuat untuk meminimalkan risiko kardiovaskuler. Karena peningkatan tekanan darah biasanya bersifat asimptomatis sampai kejadian kardiovaskuler akut terjadi, skrining terhadap hipertensi merupakan aspek penting dalam pencegahan.1

Hipertensi merupakan masalah medis yang kompleks dan tidak diharapkan. Pada sekitar 90 % penderita, peningkatan tekanan darah tidak diketahui penyebabnya dan disebut hipertensi esensial (HE).1

Konsekuensi Hipertensi

Tekanan darah yang tinggi seringkali bersifat asimptomatis tetapi dampak jangka panjangnya yang buruk dapat terjadi pada banyak organ yaitu :

Jantung : Gagal jantung, penyakit jantung koroner

Otak : Stroke

Pembuluh darah tepi : Aterosklerosis, aneurisme aorta

Ginjal : Gagal ginjal, nefrosklerosis

Retina : penyempitan arteri di retina, perdarahan dan eksudat retina.1

Jika tidak diobati, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal akibat penyakit arteri koroner atau gagal jantung, sekitar 33% mengalami stroke, dan 10 – 15 % meninggal karena komplikasi gagal ginjal.1

Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2021 oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas pelayanan kesehatan. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan di klinik (atau fasilitas kesehatan) atau di luar klinik (HBPM atau ABPM). Patut menjadi perhatian, bahwa tekanan darah diukur secara hati-hati menggunakan alat ukur yang tervalidasi.2

Penapisan dan deteksi hipertensi direkomendasikan untuk semua pasien berusia >18 tahun. Pada pasien berusia >50 tahun, frekuensi penapisan hipertensi ditingkatkan sehubungan dengan peningkatan angka prevalensi tekanan darah sistolik.2

 

Tekanan darah klinik (mmHg)

<130/85

130-159/85-99

>160/100

Lakukan pengukuran ulang dalam kurun waktu 3 tahun (dalam 1 tahun apabila ada faktor risiko)

Bila memungkinkan lakukan pengukuran tekanan darah di luar klinik (tinggi kemungkinan Hipertensi kerah putih atau hipertensi terselubung)

Alternatifnya adalah pengukuran tekanan darah di klinik dilakukan berulang

Konfirmasi ulang dalam beberapa hari atau beberapa minggu kemudian

 TD=tekanan darahDikutip dari : 2020 International Society of Hipertension Global Hipertension Practice Guidelines.

 

Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan menjadi sesuai dengan tabel berikut.

KATEGORI

TDS (mmHg)

 

TDD (mmHg)

Normal

<130

dan

85

Normal-tinggi

130-139

dan/atau

85-89

Hipertensi derajat 1

140-159

dan/atau

90-99

Hipertensi derajat 2

>160

dan/atau

>100

Hipertensi sistolik terisolasi

>140

dan

<90

 TDS=tekanan darah sistolik; TDD=tekanan darah diastolik.

Dikutip dari : 2020 International Society of Hipertension Global Hipertension Practice Guidelines.

Penatalaksanaan pada penderita hipertensi merupakan upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun demikian pemberian obat antihipertensi bukan selalu merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.

Dibawah ini adalah panduan pengelolaan hipertensi dari Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2021 oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia

Alur Panduan Inisiasi Terapi Obat Sesuai dengan Klasifikasi Hipertensi

HMOD=hipertension-mediated organ damage; PJK=penyakit jantung koroner; PKV=penyakit kardiovaskular; TD=tekanan darah.

Berdasarkan alur diatas, pengelolalan hipertensi dimulai dengan perubahan gaya hidup yaitu penurunan berat badan, olehraga rutin, diet sehat, berhenti merokok dan mengelola stress.1Penderita hipertensi dengan kategori normal tinggi adalah mereka yang diharapkan dapat mendapatkan manfaat dari perubahan gaya hidup dan yang akan mendapatkan tatalaksana farmakologis apabila terdapat indikasi tambahan untuk itu.Penderita Hipertensi derajat 1 dan 2 sebaiknya mendapatkan tatalaksana farmakologis yang sesuai. 2

Meskipun hasil pengukuran tekanan darah di klinik merupakan standar baku utama dalam penegakan diagnosis hipertensi, pengukuran tekanan darah pasien secara mandiri di luar klinik sudah mulai dilakukan. Pemeriksaan ini berupa HBPM dan ABPM. Individu yang terkonfirmasi menderita hipertensi (derajat 1 dan derajat 2) berdasarkan tabel 1, harus mendapatkan terapi farmakologi yang sesuai.2

Mengelola tekanan darah adalah komitmen seumur hidup. Membutuhkan waktu, kesabaran, dan ketekunan perawatan oleh diri pasien sendiri dan keluarga terdekat sebagai pendukung pasien. Selain itu, pasien perlu untuk selalu rutin berkonsultasi dengan dokter dan mengikuti setiap petunjuk dan saran yang diberikan. Rasa bosan dan ketakutan karena minum obat seumur hidup dapat muncul dan membuat pasien menghentikan obat hipertensi atau beralih ke pengobatan alternatif yang mereka harapakan dapat menyembuhkan hipertensi secara total. Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi dan dukungan dari dokter dan keluarga bahwa pengelolaan hipertensi dengan memperbaiki gaya hidup dan minum obat merupakan suatu usaha untuk menjaga tekanan darah pasien tetap dalam rentang stabil sehingga melindungi jantung, pembuluh darah dan organ lain dari kerusakan akibat komplikasi hipertensi. Walaupun pasien merasa tidak ada keluhan dan tekanan sudah terkontrol dan stabil, jangan berhenti minum obat dan jangan mengurangi dosis tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Dan jangan katakan lagi : “Saya minum obat hipertensi hanya bila tekanan darah Saya naik, Dok..”

 

Referensi :

1. Lilly L.S. Hipertension. In: Patophysiology of Heart Disease. Sixth Edition. Lippincott Williams & 

    Wilkins. Philadelpia. 2015

2. Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2021 update konsensus PERHI 2019.

   Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia.