Obstructive Sleep Apnea: Ketika Mengorok Mulai Berbahaya

Obstructive Sleep Apnea: Ketika Mengorok Mulai Berbahaya

Penulis: dr. Bagas Adhimurda Marsudi, M.Sc

  

Apakah Anda sering terbangun di tengah malam dan merasa lelah sepanjang hari meskipun merasa telah tidur cukup? Waspadalah karena ada kemungkinan Anda menderita yang dinamakan obstructive sleep apnea. Obstructive sleep apnea, seringkali disingkat OSA, adalah suatu gangguan tidur dimana penderita akan secara sadar maupun tidak sadar berhenti bernafas yang diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas. Hal ini akan menyebabkan penderita terbangun di tengah malam secara periodik. Penyakit OSA ini dapat ditemukan di sekitar 7-38% dari populasi dengan angka kejadiannya semakin meningkat seiring usia[1].

Gejala OSA pada umumnya lebih tampak ketika penderita sedang tidur, namun ada juga gejala yang muncul akibat dampak dari OSA. Gejala utama dari OSA yang paling khas adalah berhentinya nafas pada malam hari sehinnga terbangun, namun dapat juga berupa mendengkur yang keras, suara nafas yang seperti tercekik atau tersedak di malam hari. Dampak dari gangguan tidur pada malam hari ini menyebabkan menurunkan aliran oksigen selama 10-20 detik dan hal ini akan tampak pada kondisi badan sepanjang hari. Penderita OSA seringkali merasa lelah atau tetap mengantuk meskipun tidur cukup (>7 jam), dan ketika bangun tidak jarang akan mengelukan nyeri kepala secara regular. Dampak dari kurangnya tidur ini juga akan mempengaruhi emosi dan fungsi kognitif sehingga seringkali mood akan kacau dan penderita akan merasa sangat sulit untuk konsentrasi. Bahaya dari OSA adalah seringkali penderita tidak menyadari memilikinya sehingga dampak buruk dari OSA dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum terdiagnosis. Dalam jangka panjang, OSA yang tidak diobati dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung, stroke dan diabetes[2].

Secara garis besar, OSA ini disebabkan oleh obstruksi jalan nafas akibat jalan nafas yang sempit. Sempitnya jalan nafas ini dapat disebabkan oleh beberapa hal terkait dengan struktur leher. Pada anak-anak, OSA disebabkan amandel yang besar atau karena obesitas. Pada dewasa, OSA umumnya lebih sering ditemukan pada laki-laki dan inidividu yang obese dan dengan struktur leher yang pendek dan lebar. Tanda-tanda dari OSA umumnya baru akan ketahuan dari pasangan tidur[3].

OSA didiagnosis oleh dokter menggunakan sleep study atau pengamatan saat tidur. Individu yang diduga menderita OSA akan diminta untuk tidur semalam di rumah sakit untuk dillakukan polysomnogram yang akan mengukur aktivitas dan respons dari berbagai macam sistem organ selama tidur. Polysomnogram umumnya meliputi EEG yang mengukur aktivitas gelombang otak, EOM yang mengukur pergerakan bola mata, EMG yang mengukur aktivias otot, EKG yang mengukur irama dan perlistrikan jantung, dan oksimetri yang mengukur kandungan oksigen darah. Selain diagnosis OSA, pengamatan saat tidur dirumah sakit ini juga berguna untuk menggolongkan keparahan dari OSA menggunakan skala AHI (apnea-hypopnea index)[3].

 

Diagnosis

Kejadian/jam

Normal

<5

OSA ringan

5 - 15

OSA sedang

15 - 30

OSA berat

>30

 

Tabel 1. Apnea-hypopnea index (AHI) merupakan penggolongan dari OSA berdasarkan jumlah kejadian henti nafas atau menurunnya kadar oksigen darah dalam satu jam. Indeks ini bermanfaat untuk menentukan jenis pengobatan yang disarankan. OSA ringan-sedang dapat dipertimbangkan menggunakan modifikasi gaya hidup dan alat bantu nafas, sedangkan OSA berat seringkali membutuhkan aplikasi alat oral atau intervensi bedah

Terapi OSA secara garis besar dapat dibagi menjadi intervensi gaya hidup dan intervensi untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka selama tidur. Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk penderita OSA adalah penurunan berat badan bagi yang memiliki berat badan berlebih atau obese, olahraga rutin, menghindari konsumsi alcohol, berhenti merokok dan menerapkan posisi tidur menyamping. Adapula upaya untuk menjaga jalan nafas supaya tetap terbuka. Hal ini umumnya dilakukan menggunakan CPAP (continuous positive airway pressure) yang memberikan udara tekanan positif kedalam saluran pernafasan. Penggunaan CPAP memerlukan pengaturan yang spesifik dan membutuhkan penyesuaian yang spesifik untuk masing-masing individu. Selain CPAP dapat dipertimbangkan penggunaan alat-alat penyangga oral yang mencegah jatuhnya lidah ataupun rahan kebelakang, yang merupakan salah satu penyebab utama dari obstruksi jalan nafas. Pembedahan juga dapat dilakukan sebagai upaya terakhir untuk mengobati OSA. Tujuan dari pembedahan ini adalah untuk mengangkat jarigan disekitar tenggorokan supaya melonggarkan jalan nafas. Pembedahan ini hanya dilakukan untuk individu yang masih mengalami OSA meskipun telah menjalani terapi-terapi lini pertama yang lain[3].

 

Referensi

Senaratna CV, Perret JL, Lodge CJ, Lowe AJ, Campbell BE, Matheson MC, Hamilton GS, Dharmage SC. Prevalence of obstructive sleep apnea in the general population: a systematic review. Sleep medicine reviews. 2017 Aug 1;34:70-81.

Gottlieb DJ, Punjabi NM. Diagnosis and management of obstructive sleep apnea: a review. Jama. 2020 Apr 14;323(14):1389-400.

Spicuzza L, Caruso D, Di Maria G. Obstructive sleep apnoea syndrome and its management. Therapeutic advances in chronic disease. 2015 Sep;6(5):273-85.