Mengupas Tuntas Mitos-mitos Tentang Kolesterol

Mengupas Tuntas Mitos-mitos Tentang Kolesterol

 

Penulis: dr. Bagas Adhimurda Marsudi, M.Sc

 

Siapa yang tidak tahu tentang kolesterol tinggi dan hubungannya dengan penyakit jantung? Sepertinya topik ini sudah sering kali dibahas, baik di media secara umum, maupun melalui penyuluhan-penyuluhan di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, penyakit dyslipidemia ini merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai diantara masyarakat. Data Riskesdas 2013, menunjukkan bahwa prevalensi (presentase kejadian) dyslipidemia mencapai 35.9% dan data itu diprediksikan akan terus meningkat.[1] Meskipun angka kejadian penyakit ini sangat tinggi dan informasi mengenai kolesterol telah disebarluaskan, penulis merasa masih banyak miskonsepsi dan mitos yang tersebar dan dipahami oleh kalangan masyarakat awam, baik yang berpendidikan tinggi maupun yang rendah. Oleh karena itu, penulis kali ini akan mengupas tuntas beberapa mitos dan miskonsepsi umum, dengan harapan akan memberikan pencerahaan mengenai penyakit dyslipidemia serta pencegahannya.

Penyakit Jantung Disebabkan Oleh Konsumsi Kolesterol

Ini merupakan salah satu mitos yang masih banyak dipercaya karena memang pada dasarnya asumsinya bersifat logis; karena lemak mengandung kolesterol maka konsumsi lemak akan meningkatkan kolesterol darah dan menyebabkan penyakit jantung. Tapi penting untuk diketahui bahwa sekitar 80% kolesterol dalam darah di produksi oleh tubuh sendiri di organ hati. Jadi badan kita akan secara automatis mengatur jumlah kolesterol yang ada pada darah sesuai dengan jumlah kolesterol yang dikonsumsi dalam diet. Selain itu telah terbukti dari puluhan tahun penelitian bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi kolesterol dengan penyakit jantung maupun stroke, sehingga rekomendasi pembatasan konsumsi kolesterol dan lemak jenuh kerap dihilangkan.[2]

Terlebih lagi, mungkin pembaca pernah mendengar salah satu diet yang cukup popular bernama ketogenic diet atau singkatnya keto diet. Diet keto merupakan diet dengan komposisi 5-10% karbohidrat, 15-25% protein and 60-80% lemak, yang artinya diet ini sangat tinggi lemak.[3] Meskipun demikian, diet keto ini telah banyak diteliti dan memiliki banyak khasiat jangka pendek dan sedang (studi terpanjang adalah 3 tahun) diet ini dapat membantu penurunan berat badan dalam pasien obese, menurunkan tensi darah pada pasien hipertensi, menurunkan LDL dan meningkatkan HDL, dan memperbaiki resistensi insulin yang berperan pada penyakit diabetes.[4] Mengapa diet tersebut memiliki dampak begitu luas dan kontradiktif terhadap asumsi orang awam selama ini? Hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa diet ketogenic masih harus membatasi jumlah kalori yang dikonsumsi tiap harinya, untuk orang yang tidak ingin turun berat badannya, dijaga sekitar 2000 kalori untuk laki-laki dan 1700 kalori untuk perempuan, untuk yang ingin diet biasanya dikurangi 500 kalori dan kebutuhan hariannya. Sehingga, semua lemak yang dikonsumsi itu akan diubah oleh tubuh menjadi energi dan tidak disimpan. Hal yang kedua adalah metabolisme tubuh yang berubah dari yang sebelumnya menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi utama menjadi lemak. Metabolisme lemak sendiri menghasilkan senyawa keton dalam darah, dimana pada kadar tertentu berdampak baik pada berbagai sistem organ. Setelah beberapa hari, tubuh akan masuk dalam tahap ketosis dimana, secara sederhana, badan menjadi lebih efisien untuk membakar lemak sebagai sumber energi utamanya yang sebelumnya didominasi oleh karbohidrat.[5]

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa, sumber kolesterol utama dalam darah diproduksi oleh organ hati dan di regulasi secara otomatis dengan menyesuaikan jumlah kolesterol yang dikonsumsi. Selain itu, ada contoh diet seperti Keto diet, yang telah banyak diteliti dan ditemukan banyak manfaatnya untuk penyakit kronis seperti obesitas, hipertensi dan diabetes tapi perlu ditekankan bahwa hal tersebut dapat terjadi diet tetap mengharuskan kita untuk menjaga porsi makanan sesuai kebutuhan kalori harian supaya tidak ada energi yang berlebih yang disimpan dalam bentuk lemak. Untuk mencegah penyakit kronis ada beberapa perubahan gaya hidup lain yang lebih berdampak seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan (jika berlebih), berhenti mengkonsumsi alcohol, olaraga yang rutin dan konsumsi makanan yang rendah garam dengan kalori yang sesuai.

 

Infografis yang menggambarkan secara kasar peran HDL dan LDL dalam darah dalam pembentukan plak pembuluh darah dan penyakit jantung koroner. Perlu diketahui bahwa pembentukan LDL yang berlebih dapat dicetuskan oleh berbagai macam proses (seperti diabetes, obesitas, merokok) dan dari sumber makanan selain lemak. Infografis di dapatkan dari CNN Indonesia dengan nama designer tertera.

Awas Makan Kambing dan Durian, Nanti Kolesterol Akan Tinggi!

Ini adalah mitos yang paling sering didengar oleh penulis terkait jenis makanan dengan kolesterol. Padahal daging kambing mengandung kolesterol lebih sedikit dibandingkan daging sapi (75mg vs. 90mg kolesterol).[6] Buah durian juga seringkali disalahkan, padahal durian sama sekali tidak mengandung kolesterol jahat, dan justru mengandung lemak jenuh yang sangat baik untuk jantung dan menjaga kolesterol baik.[7] Lalu mengapa hal-hal tersebut sering menyebabkan gejala-gejala yang menyerupai kolesterol tinggi seperti sakit kepala atau terasa kencang dibagian leher?

Hal ini dikarenakan jumlah dan jenis yang dimakan serta porsi. Rata-rata orang Indonesia kalau makan kambing biasanya dihidangkan bersama gulai maupun kare yang penuh dengan tetelan, dan kambingnya sendiri disajikan bagian-bagian yang berlemak. Kambing juga biasanya dikonsumsi saat sedang perayaan, dimana orang cenderung tidak mempedulikan porsi makan dan tanpa disadari sudah mengkonsumsi lemak jenuh, dan garam yang sudah melebihi anjuran sehingga menyebabkan nyeri kepala dan kaku leher, dan yang disalahkan biasanya hidangan utama yaitu kambing.

Sebetulnya mitos ini tidak hanya berlaku untuk kambing saja, tapi beberapa makanan lainnya yang seringkali disalahkan ketika mengalami peningkatan kadar kolesterol darah seperti kuning telur, udang ataupun kepiting. Padahal semua makanan yang disebut mengandung lemak yang baik. Jadi ingat, sebenarnya makanan yang selama ini dikira jahat bisa jadi merupakan alternatif yang lebih sehat. Justru yang perlu diperhatikan adalah cara memasak (dengan memperhatikan kandungan garam, gula, jenis minyak yang digunakan dsb) dan porsi makanan yang dikonsumsi.

Obat Kolesterol Hanya perlu diminum ketika Kolesterol Tinggi

Mitos ini khususnya berlaku untuk orang-orang yang sudah lebih tua dan telah di diagnosis dengan dyslipidmia atau kolesterol tinggi. Mungkin yang ada dibenak pikiran adalah, selama kolesterol sudah kembali ke level yang normal dan makanan lemak dikurangi obat bisa diberhentikan secara total. Selain itu dirasa bahwa konsumsi obat yang jangka panjang akan memiliki efek samping yang sangat berbahaya sehingga tidak konsumsinya sering kali menjadi tidak teratur. Penulis juga tidak jarang menemui kasus-kasus pemakaian obat kolesterol (jenis statin) dimana orang meminum obat kolesterol setelah atau sebelum makan berat untuk mencegah naiknya kolesterol darah dan gejala sakit kepala. Padahal yang tidak disadari adalah kerja dari obat tersebut hanya efektif pada malam ketika metabolisme kolesterol dalam hati sedang pada masa paling aktif. Konsumsi obat yang tidak teratur, serta cara penggunaan yang kurang tepat membuat obat itu menjadi kurang efetif.

Obat penurun kolesterol terdapat berbagai macam, namun yang paling sering digunakan adalah golongan obat statin (simvastatin, rosuvastatin, atorvastatin, dan obat akhiran -statin lainnya), yang sering kali di resepkan untuk menurunkan LDL darah dan diminum pada malam hari saja karena metabolisme kolesterol paling aktif saat itu. Obat statin merupakan salah satu jenis obat yang paling banyak diteliti dan secara konklusif telah dibuktikan perannya dalam menurunkan kolesterol LDL dan penyakit jantung koroner. Selain dari efektif, obat statin ini juga sangat aman untuk dikonsumsi jangka panjang dengan persentasi kejadian efek samping tersering sangat rendah (<0.1%) yang berupa nyeri otot, presentasi gangguan hati akibat akibat statin jauh lebih rendah lagi di sekitar <0.001%.[8] Sehingga, konsumsi obat kolesterol ini tidak perlu lagi diragukan maupun ditakuti untuk dikonsumsi, karena merupakan upaya penting untuk menurunkan kolesterol LDL yang paling efektif dan menurunkan risiko terkena penyakit jantung koroner. Selain itu, harus diperhatikan juga tata cara penggunaan obat dengan dosis yang tepat, sesuai dengan anjuran dokter.

 

Daftar Pustaka

  1. Arsana PM, Rosandi R, Manaf A, Budhiarta AAG, Permana H, Sucipta KW, et al. Panduan pengelolaan dislipidemia di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI. 2015.
  2. Dietary Guidelines Advisory Committee. Scientific report of the 2015 Dietary Guidelines Advisory Committee: advisory report to the Secretary of Health and Human Services and the Secretary of Agriculture.2015. https://health.gov/dietaryguidelines/2015-scientific-report/. Accessed June 14, 2019
  3. Westman EC, Mavropoulos J, Yancy WS, Volek JS. A review of low-carbohydrate
  4. ketogenic diets. Current Atherosclerosis Reports. 2003;5(6):476-483.
  5. D'Souza MS, Dong TA, Ragazzo G, Dhindsa DS, Mehta A, Sandesara PB, Freeman AM, Taub P, Sperling LS. From Fad to Fact: Evaluating the Impact of Emerging Diets on the Prevention of Cardiovascular Disease. The American journal of medicine. 2020 Jun 19.
  6. Masood W, Annamaraju P, Uppaluri KR. Ketogenic diet. StatPearls [Internet]. 2020 Mar 29.
  7. Park YW, KOUASSI MA, CHIN KB. Moisture, total fat and cholesterol in goat organ and muscle meat. Journal of Food Science. 1991 Sep;56(5):1191-3.
  8. A Aziz NA, Mhd Jalil AM. Bioactive compounds, nutritional value, and potential health benefits of indigenous durian (Durio Zibethinus Murr.): A review. Foods. 2019 Mar;8(3):96.
  9. Newman CB, Preiss D, Tobert JA, Jacobson TA, Page RL, Goldstein LB, Chin C, Tannock LR, Miller M, Raghuveer G, Duell PB. Statin safety and associated adverse events: a scientific statement from the American Heart Association. Arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology. 2019 Feb;39(2):e38-81.