Mengenal Myocardial Bridging sebagai Salah Satu Penyebab Nyeri Dada

Mengenal Myocardial Bridging sebagai Salah Satu Penyebab Nyeri Dada

Penulis: dr. Elen, Sp.JP

 

Apa itu myocardial bridging?

Myocardial bridging merupakan kelainan yang bersifat bawaan dimana sebagian segmen koroner yang berjalan epikardial terletak diantara serat-serat otot jantung sehingga menciptakan suatu jembatan di atas otot jantung (Gambar 1). Posisi arteri koroner yang terhimpit sedemikian rupa dapat menyebabkan gangguan aliran darah pembuluh koroner pada saat otot jantung berkontraksi (fase sistolik) bahkan juga pada saat otot jantung berelaksasi (fase diastolik) pada kondisi yang lebih berat. Pembuluh darah yang seringkali terkena adalah segmen mid dari left anterior descending coronary artery (LAD). Kelainan ini cukup sering terjadi, yaitu 15-85% dari berbagai studi otopsi.

Individu dengan myocardial bridging dapat tanpa gejala pada derajat keparahan yang ringan. Namun pada kondisi yang lebih berat dapat menimbulkan gejala akibat terganggunya aliran darah koroner. Gejala yang dapat timbul berupa nyeri dada yang tidak khas ataupun khas  yang dapat diperberat dengan aktivitas, dan pada kondisi berat dapat berupa sindrom koroner akut, gangguan irama, hingga kematian jantung mendadak.

 

 Gambar 1. Segmen koroner terletak diantara serat-serat otot jantung

Bagaimana cara mendeteksinya?

Myocardial bridging dapat terlihat dari pemeriksaan non-invasif dengan CT angiografi koroner ataupun dari pemeriksaan invasif dengan kateterisasi koroner. Dari pemeriksaan CT angiografi koroner kita dapat mengetahui apakah segmen koroner yang mengalami kelainan posisi apakah terhimpit sebagian atau terbenam seluruhnya diantara serat-serat otot jantung, seberapa dalam dan seberapa panjang terbenamnya (Gambar 2). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut,  myocardial bridging dapat diklasifikasikan menjadi tipe superfisial apabila  jarak  permukaan epikardial  dan arteri  koroner  yang  menembus  otot  di  titik  yang terdalam <1 mm, atau tipe dalam apabila jaraknya >1 mm. Untuk tipe superfisial dibagi lagi menjadi tipe inkomplit apabila segmen arteri koroner terbenam sebagian atau tipe komplit apabila terbenam seluruhnya secara sirkumferensial. Dari kateterisasi koroner biasanya terlihat gambaran kompresi segmen koroner saat sistolik (milking effect). Pemeriksaan uji fungsional secara non-invasif dan invasif dapat lebih lanjut dilakukan untuk menilai gangguan iskemik atau hemodinamik yang timbul akibat lesi myocardia bridging ini.

 

Gambar 2. Penilaian panjang dan dalam dari lesi myocardial bridging

Bagaimana penanganannya?

Pada pasien dengan gejala, terapi medikamentosa dapat diinisiasi untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Medikamentosa yang diberikan bertujuan mengurangi laju denyut jantung, memperpanjang waktu pengisian diastolik, menurunkan kontraktilitas sehingga mengurangi kompresi arteri koroner. Obat yang diberikan dapat berupa obat penyekat beta sebagai terapi lini pertama ataupun obat penyekat kanal kalsium.

Penanganan intervensi dilakukan pada pasien dengan gejala berat, terdapat bukti iskemia atau gangguan hemodinamik yang signifikan, yang refrakter terhadap terapi medikamentosa. Intervensi bedah untuk myocardial bridging  dapat berupa operasi bypass koroner dan operasi miotomi. Dengan mempertimbangkan adanya risiko graft failure akibat aliran kompetitif dari pembuluh native, operasi bypass lebih bermanfaat dilakukan apabila lesi myocardial bridging yang memiliki panjang >25 mm atau kedalaman > 5 mm. Pada keadaan dimana lesi  tidak panjang atau dalam sedemikian rupa, miotomi terhadap serat-serat otot jantung yang terletak  diatas lesi lebih efektif untuk meningkatkan aliran darah koroner dan mengurangi gejala. Intervensi koroner perkutan dengan pemasangan stent pada segmen yang mengalami myocardial bridging memiliki hambatan berupa peningkatan risiko fraktur stent, trombosis stent atau perforasi koroner sehingga kurang direkomendasikan.